Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982 by Cho Nam Joo - Book Review

Halo, pada postingan kali ini, aku akan memberikan kesanku aka secuil reviewku mengenai buku novel berjudul Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982 yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Aku membaca ini melalui e-book resmi yang di Google Play Books.

Kurang lebih membutuhkan 3 hari untukku menyelesaikan buku yang memiliki jumlah halaman yang tergolong sedikit ini, yakni 192 halaman. Cenderung lebih cepat jika dibandingkan dengan kecepatan membaca buku fantasiku. Selain karena halaman yang sedikit, konflik yang dibahas dalam buku ini sangat dekat, jadi lebih mudah mengimajinasikan apa yang terjadi.

Review

Pertama-tama, buku ini aku baca karena dorongan trend di kalangan para pecinta buku yang saat ini banyak yang baca Kim Ji-Yeong. Filmnya pun sudah heboh beberapa waktu lalu. Dan pada dasarnya, genre cerita ini bukanlah seleraku, jadi agak lama untuk memulainya saat itu.

Buku ini menceritakan tentang Kim Ji-Yeong, seorang wanita yang lahir di tahun 1982, dan hidup di lingkungan yang memiliki nilai patriarki yang kental. Aku menyukai bagaimana penulis menyematkan tahun 1982 sebagai judul, karena situasi yang diceritakan dalam buku ini terjadi dalam rentang waktu 1982-2016. 

Kemalangan Kim Ji-Yeong tercipta dari lingkungan hidupnya yang mempraktikan sistem patriarki yang begitu kental. Ia harus berjuang melawan ketidakadilan.... sendiri. Sebenarnya dia tidak sendiri, tapi karakternya membuatnya seolah sendiri.

Harapanku sebelum membaca buku ini adalah aku harap bisa relate dan menyelami karakter Kim Ji-Yeong sehingga aku bisa menangis dengan perjuangannya melawan diskriminasi gender yang dialaminya. Tetapi setelah membacanya, harapanku pupus.

Plot

Cerita diawali dengan prolog yang menarik, membuatku bertanya-tanya apa yang terjadi pada Kim Ji-Yeong sehingga ia bisa seperti ituKemudian cerita dilanjutkan dengan flashback perjalanan hidup Kim Ji-Yeong dari lahir sampai menikah yang membuat beberapa pembaca mungkin akhirnya mampu memahami situasinya yang tertekan. 

Namun, aku menyayangkan progress cerita yang terkesan datar. Aku merasa semakin ke belakang, ceritanya tidak memberikan klimaks dan hanya menunjukkan kemalangan hidup Kim Ji-Yeong sebagai korban dalam sistem patriarki. 

Cerita juga disampaikan dengan narasi oleh sudut pandang orang ketiga. Baru kemudian di beberapa halaman terakhir, sudut pandang berubah menjadi sudut pandang orang pertama.

Hal tersebut membuatku kurang bisa merasa bahwa karakter Ji-Young ini adalah aku. Dan aku juga kesulitan menangkap apa yang sebenarnya ingin penulis sampaikan melalui buku ini. 

Cerita dalam buku ini tidak memiliki akhir yang saklek. Open ending pun tidak. Buku ini meninggalkan tanda tanya, dan pembaca lah yang harus menjawabnya sendiri.

Karakter

Alih-alih digambarkan sebagai karakter yang aktif dalam melawan ketidakadilan yang dirasakannya, Kim Ji-Yeong lebih memilih diam dan pasif ketika orang-orang berlaku tidak adil padanya. Tetapi malah orang-orang di sekelilingnya yang terkesan lebih kuat dan aktif.

Sulit merasakan emosi Ji-Yeong ketika dirinya tak banyak melawan, dan cenderung memendam. Ada beberapa hal yang membuatku mengangguk setuju, tetapi lebih banyak keputusan Ji-Yeong yang membuatku frustasi. Bukan frustasi sama lingkungannya, tetapi frustasi dengan bagaimana Ji-Yeong menghadapi itu semua.

Realitanya, dunia memang sudah tidak waras. Yang sebenarnya ingin aku lihat bukan lah sosok yang menunjukkan bahwa wanita adalah korban. Tetapi bagaimana cara untuk stay sane in this insane world, cara untuk bertahan dan menjadi kuat walaupun kita tertindas. 

Bisa dikatakan karakter Ji-Yeong bukanlah tipeku, sehingga aku agak sulit relate. Walau adakalanya Ji-Yeong mengingatkanku pada ibuku, nenekku, bahkan aku, tetapi karena perjuangannya sangat berbeda, jadi efek merasanya hanya sebentar saja. 

Karakter ibu Ji-Yeong mungkin adalah karakter yang ‘agak’ aku suka. Begitupula dengan ibu-ibu yang membantu Ji-Yeong di halte bus. Ibu Ji-Yeong digambarkan sebagai sosok yang kuat di tengah sistem patriarki ini. Dan ibu-ibu di halte bus itu juga merupakan sosok yang positif menghadapi hidup.

“Ada lebih banyak lagi pria baik di dunia ini,” halaman 66.

Hubungan antara Kim Ji-Yeong dan suaminya juga hanya diceritakan ketika sedang dingin-dinginnya. Padahal aku penasaran alasan kenapa Ji-Young memilih untuk menikahi Dae-Hyeon. Hubungan mereka ketika lagi hangat-hangatnya, dan sebagainya. Sayangnya, cerita ini tidak membangun kisah hangat seperti itu. Isinya 98% duka sebagai seorang wanita yang tidak speak up. Padahal banyak hal yang bisa disyukuri.

Banyak yang sudah menonton filmnya dan banyak yang mengatakan bahwa mereka lebih menyukai ending dalam film. Aku belum menonton filmnya, tetapi respon teman-temanku yang mengatakan akhir di film lebih bagus, membuatku ingin menontonnya.

Overall Review

☆☆☆
3 bintang.

Sejujurnya tidak banyak hal yang aku sukai dalam buku ini. Plot yang terkesan datar ini tidak meninggalkan kesan mendalam, tetapi aku menghargai informasi-informasi yang disematkan dalam footnote yang secara tidak langsung menggambarkan seberapa besar diskriminasi gender terjadi di Korea Selatan. 

Lalu, karakter yang aku harapkan bisa menjadi sosok yang kuat, ternyata terlalu pemendam dan membuatnya jadi sulit di mengerti. Walau tidak sampai pada tahap meresap banget, tetapi ada kalanya sosok Kim Ji-Yeong ini mengingatkanku pada ibuku si bungsu dari 4 saudara dengan 3 saudara laki-laki, pada nenekku yang as long as i knew berumah tangga dengan sosok yang sangat dominan dan keras, adik-adikku, dan juga diriku.

Jadi... 3 bintang.

Greenshe Review