Pages

Goodreads Wattpad FB Page Instagram 1 Instagram 2 Twitter Youtube
GREENSHE REVIEWS
  • Home
  • Drama Reviews
  • Movie Reviews
  • Book Reviews
  • Journal

I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki by Baek Se-hee

✩✩✩✩

My rating: 4 of 5 stars

Ingin mati, tapi ingin makan tteokkpokki? Jadi... gimana?




View this post on Instagram

A post shared by Maulia Resta (@maulimaul) on Sep 30, 2019 at 11:02am PDT

Kesan pertamaku melihat judul buku ini, aneh. Tapi sekaligus menimbulkan rasa penasaran dengan isi buku tersebut.

Buku ini adalah buku non-fiksi yang termasuk dalam kategori self-help. Isinya berupa kompilasi atau rekapan percakapan antara dua manusia yang tidak sempurna, yakni sang penulis (Baek Se Hee) dan dokter psikiaternya. Sang penulis memiliki distimia yang merupakan salah satu jenis depresi yang ringan, tetapi berkepanjangan.

Melalui kata pengantar dalam buku, Dr. Jiemi Ardian, Sp. KJ, berpesan bahwa self-diagnosed yourself sangat tidak dianjurkan. Tetapi dengan membaca buku ini, kamu bisa sedikit memahami seperti apa sih yang dipikirkan oleh seseorang yang mengalami distimia.

Well, setelah membaca buku ini, aku merasa bahwa banyak sekali situasi perasaan dan cara berpikir penulis yang relatable denganku. Pemikiran dan dilema yang dirasakan oleh seorang introvert yang berusaha untuk lebih mencintai diri sendiri.

Biasanya, aku suka membaca buku dengan genre fantasi atau science-fiction. Dan buku berkategori self-improvement ini tuh berada di peringkat terbawah dari list genre favoritku. Karena aku seringkali berpikir bahwa kata-kata mutiara/ motivasi yang menyarankanku untuk melakukan ini dan itu tuh nggak begitu berpengaruh untukku. Kayak.... aku berpikir seperti motivasi tuh datangnya dari dalam diri sendiri, bukan orang lain. Atau mungkin hanya aku saja yang malas untuk berubah? Mungkin aku hanya bersikap berlebihan?

Lalu, kenapa aku memutuskan untuk membeli dan membaca buku non-fiksi ini?

Oke, awalnya aku tidak tertarik sama sekali dengan popularitas buku ini. Ketika banyak orang berlomba untuk beli pre-order buku ini, aku sama sekali tidak tertarik. Tetapi suatu hari, komunitas Bookish Indonesia mengadakan sebuah event diskusi buku-buku yang dibaca atau menjadi sumber inspirasi karya-karya Korean group BTS. Dan salah satu buku yang dibahas adalah buku ini.

Ketika melihat daftar buku yang akan dibahas, aku sama sekali buta. Tidak ada satupun buku yang aku pernah baca. Bahkan aku yang mengaku sebagai Army (fans BTS) pun tidak tahu buku apa yang mereka baca, dan darimana inspirasi musik video mereka itu berasal.

Oleh karena itu, karena aji mumpung, aku membeli buku ini yang juga dijual ketika acara berlangsung, yaaa untuk pegangan saja tadinya. Tetapi setelah mendengar diskusi yang dipimpin oleh editor buku ini, yakni Kak Lovita Cendana, aku merasa tertarik membaca buku ini. Terlebih beberapa hari sebelumnya aku dilanda kecemasan yang datang begitu tiba-tiba. Jantungku berdetak begitu cepat, seperti habis meminum kopi, namun saat itu aku sangat lemas sampai nafasku sedikit terganggu. Aku berpikir apakah aku akan mati hari ini?

Setelah membaca buku ini, aku tidak merasa seperti diperintah, diperingati, atau dimotivasi. Melainkan buku ini seolah berkata "kamu nggak sendiri, kok". Aku tidak paham apakah ini merupakan self-diagnosed atau nggak, tetapi aku hanya merasa sangat relate dengan si penulis ini.

Sekian untuk review kali ini. Intinya, aku merasa buku ini sangat bagus!



View this post on Instagram

A post shared by Bookish Indonesia (@bookish_indonesia) on Sep 12, 2019 at 4:01am PDT
0
Share

Cr. Greenshe Reviews

The Creeps by Fran Krause

My rating: 4 of 5 stars
✰✰✰✰


Halo readers,
Sebelum memasuki review, aku ingin bertanya. Biasanya, hal apa yang kalian lihat sebelum kalian memutuskan untuk membeli sebuah buku?

Kalau aku, akan melihat dari cover. Well, it is not about judging a book by only its cover. But, talking about first impression. Ketertarikanku terhadap sebuah buku dimula pada covernya. Gambar/ hiasan yang simpel dan memiliki warna yang eye-catching tetapi tidak norak adalah poin utamaku dalam berkenalan dengan buku. 

Selanjutnya, tentu saja tak cukup hanya dengan melihat cover. Aku akan melihat judul dan blurb yang ada di belakang buku. Pasalnya, kedua hal tersebut membuatku bisa mengetahui tentang sepenasaran apa aku dengan buku ini. Dan ketika judul dan blurb sebuah buku menarik perhatianku, maka aku akan berusaha untuk mengingat siapa penulisnya. Baru deh, setelah itu aku akan mencari beberapa review di goodreads.com maupun sumber review lainnya mengenai buku tersebut sebelum akhirnya memutuskan untuk membeli.

Jadi, suatu hari aku melihat IG Story akun Periplus.com me-repost salah satu story pelanggannya yang baru saja membeli buku The Creeps karya Fran Krause ini, aku langsung tertarik karena gambar covernya simpel dan warnanya kuning, tetapi nggak terkesan norak. Lalu, karena penasaran bukunya tentang apa, aku membaca free sample yang ada di Google Play Books, dan ternyata bukunya adalah graphic novel atau animation book gitu, kumpulan Deep Dark Fears yang mungkin dirasakan oleh pembaca juga. 

Gambar komiknya simpel dan menarik, membuatku semakin ingin membelinya, namun apalah daya, harganya melewati angka 220k di Periplus, sehingga aku harus menunda keinginanku untuk memilikinya. Tapi tak lama kemudian, Periplus mengadakan pesta diskon Bootopia Jakarta 2019. Alhamdulillah akhirnya buku ini bisa terbeli juga.

REVIEW

Buku ini simpel luar dan dalam. Gambar ilustrasi dengan cerita-cerita ringan ini sangat menghibur. Awalnya buku ini seolah menjanjikan bahwa cerita di dalamnya akan seram atau semacamnya. Tapi setelah membaca, sebagian besar isinya hanya menghibur karena terkesan silly, haha. Mungkin ada beberapa bagian yang membuatku mengangguk dengan semangat, tetapi menurutku, mostly isinya hard to relate jika disandingkan dalam kehidupan dan budaya di Indonesia, khususnya lingkunganku.

Kalau kalian suka graphic novels atau mungkin senang baca komik strip seperti Tahilalats, mungkin buku ini cocok untukmu. Because it's simply fun. Atau kalau mood membaca kamu sedang lesu karena sedang dirundung reading slump, maka aku akan merekomendasikan buku ini untukmu. Benar-benar ringan dan menghibur!

Oh! Dan satu hal yang sangat aku suka dari buku ini adalah kualitas kertasnya. Dari sekian banyak buku yang aku punya, aku harus mengakui bahwa kualitas kertas buku ini bukan kaleng kaleng. Susah mendeskripsikan bagusnya. Tapi pokoknya bagus banget dibandingkan dengan buku berilustrasi lainnya yang aku punya.

Buku ini adalah buku kedua dari seri Deep Dark Fears. Aku belum menemukan buku pertamanya di toko buku di Indonesia. Tapi kalau ditanya apakah aku akan membelinya, aku pasti akan membelinya ketika saldonya cukup, haha. Karena ya rasanya memang semenyenangkan itu membaca graphic novel seperti ini. Terlebih mood membacaku akhir-akhir naik turun syantik.
0
Share

Selamat Pagi, Siang, Sore, Malam.
Halo para pembaca. Greenshe kembali dengan konten Journal.

Sesuai judul hari ini, aku akan membicarakan tentang generasi grup K-pop. Lebih tepatnya, perbedaan Generasi 1 sampai dengan Generasi 3. Yak! Aku hanya akan menyebutkan 3 generasi.

Pembicaraan mengenai generasi grup K-POP ini bukan lagi hal yang baru. Banyak penggemar yang sudah mengemukakan pendapat mengenai perbedaan generasi pertama hingga generasi terkini grup k-pop. Ada yang mengemukakan dari tingkat popularitas mereka, maupun dari tingkat ketercapaian mereka di kancah dunia internasional. Jumlah generasi pada setiap artikel pun ada yang menyebutkan hanya ada 3 generasi, tetapi ada juga yang menyebutkan 5 generasi, bahkan lebih.

Mungkin saja apa yang ingin aku bahas kali ini sudah pernah kalian baca atau dengar dari sumber lain. Pasalnya, aku pun menyampaikan hal ini setelah mendengar penjelasan dari guru-ku di tempat les Bahasa Korea beberapa bulan lalu.

♘♘♘

Beberapa orang beranggapan bahwa 1st, 2nd, dan 3rd generation itu berdiri sendiri-sendiri. Seolah ketika mereka memulai, pasti harus berakhir. Ya, memang kejayaan setiap grup tentu memiliki akhirnya masing-masing. Tetapi, yang ingin aku tuliskan disini adalah setiap generasi itu ngga mati, karena menurut pandanganku, generasi K-Pop itu tidak dilihat dari past aja, present aja, atau future aja. Tetapi continue, karena setiap generasi pasti akan meninggalkan tren atau budaya yang kemudian digunakan pada generasi-generasi selanjutnya.

Oleh karena itu, berikut adalah generasi grup Korean Pop versi Greenshe.

Sejarah Modern K-Pop

K-Pop bukan sekedar grup oppa, eonni, hyung, dan nuna kalian. Tetapi K-Pop itu cakupannya luas. Semua lagu yang dikeluarkan di Korea, bisa disebut sebagai K-Pop, karena K-Pop itu bukan sekedar genre. 

Like what BTS's Suga said,

"...rather than approach Kpop as a genre, a better approach would be ‘integrated content..."

K-Pop itu mencakup lagu, baju, choreography, dan lain sebagainya yang di integrasikan sehingga mampu merepresentasikan Korea, jadi K-Pop bukan sekedar genre lagu, terlebih karena pada dasarnya lagu K-Pop adalah perpaduan genre-genre musik lainnya yang sudah ada.

Menjamurnya grup K-Pop idol di Korea Selatan berawal dari kehadiran grup berisikan 3 member, yakni Seo Taiji & Boys di tahun 1992 yang menciptakan gebrakan baru dengan menulis lagu-lagu yang mengangkat Social Issue, khususnya problem anak remaja di sekolah. Walau ketika perform di acara TV mereka mendapatkan nilai rendah dari juri, tetapi pengaruh dan dampak yang dibawa oleh mereka menjadi tren yang baru dalam dunia K-Pop. Karena mereka juga melakukan hal seperti Grouping, Dancing, and Rapping. 

Ssaem-ku waktu itu bercerita bahwa dulu ada anggapan bahwa orang Korea tidak bisa nge-rap (berbicara cepat), tetapi dengan kehadiran Seo Taiji & Boys ini, mereka mampu mematahkan stigma seperti itu dengan rap mereka.

Popularitas Seo Taiji & Boys di Korea saat itu benar-benar besar. Sehingga, ada beberapa fans sampai mengganggu privasi member Seo Taiji dengan meramaikan daerah sekitar rumah para member. Selain mengganggu kehidupan pribadi member, perilaku fans saat itu juga mengganggu masyarakat lain yang tinggal di sekitar situ. Sehingga, pada tahun 1996, di masa-masa kejayaan grup tersebut, Seo Taiji & Boys menyatakan pensiun, atau yang sekarang ini biasa kita sebut disbanded. Kalian bisa tonton drama Reply 1994 kalau kalian ingin tahu gambaran popularitas dan kehidupan seorang fans Seo Taiji & Boys seperti apa.

Generasi Pertama / 1st Generation

Setelah Seo Taiji & Boys menyatakan undur diri dari dunia entertainment, muncul grup-grup idol baru yang mengisi kekosongan kejayaan itu. Adapun grup-grup yang berjaya di akhir tahun 90an itu adalah H.O.T (1996), Sechs Kies (1997), Shinhwa (1998), dan g.o.d (1999). Selain grup tersebut, ada juga grup S.E.S, Fly To The Sky, Fin.K.L, dan lain sebagainya. Mereka lah yang disebut sebagai Generasi Pertama.

Selain karena K-Pop grup yang semakin banyak, pada masa generasi pertama ini mereka populer dengan style-nya. Sejujurnya aku kurang paham dengan maksud style ini ketika guru-ku menjelaskan. Tetapi yang aku tangkap adalah style seperti konsep (imut / manly), pakaian, dan gaya rambut dari grup itu menjadi tren di kalangan para fans yang tentunya tidak sedikit.

Kehidupan para fans pada masa ini juga bisa kalian tonton di drama Reply 1997. Saat itu, penjualan merchandise mulai dilakukan, dan fan war pun mulai terjadi.

Generasi Kedua / 2nd Generation

Kalau diminta menyebutkan siapa saja grup generasi kedua, pasti beberapa dari kalian langsung mampu menyebutkan nama-nama besar seperti Super Junior, Bigbang, Wonder Girls, KARA, Girls' Generation, 2PM, Shinee dan lain sebagainya. Dibandingkan dengan grup dari generasi pertama, grup yang berada dalam deretan generasi kedua ini sudah mampu menarik lebih banyak fans internasional, dan sudah mulai melakukan debut juga di Jepang.

Lalu, apa yang membuat grup generasi kedua ini memiliki popularitas yang lebih di mata internasional?

Kalau kalian memperhatikan lagu-lagu yang membuat masing-masing grup semakin terkenal, kalian mungkin bisa mendengar adanya pengulangan kata dalam liriknya. Contohnya adalah lagu Sorry Sorry (Super Junior), La La La (Bigbang), Tell Me & Nobody (Wonder Girls), Mister (KARA), Gee (Girls' Generation), Again & Again (2PM), Ring Ding Dong (Shinee) dan lain sebagainya.

Lagu-lagu dengan repeatitive lyrics ini membuat orang lebih mudah menghafal dan menyanyikan lagu tersebut. Singkatnya, lebih cepat bikin terngiang-ngiang gitu, haha. Sehingga, lagu-lagu seperti ini menarik lebih banyak fans Korea dan juga fans internasional. Kemudian muncullah yang namanya HALLYU WAVE atau Korean Wave, versi Korea-nya hollywood gitu deh.

Generasi Ketiga / 3rd Generation

Well... Sebenarnya generasi ini sedikit membingungkan. Menurut kalian, siapa saja yang termasuk ke dalam Grup K-Pop generasi ketiga?

Selain menulis ulang apa yang disampaikan oleh guruku, aku juga mencari-cari informasi mengenai generasi K-Pop di google. Ada beberapa artikel yang berpendapat bahwa generasi ketiga ditandai dengan popularitas di kancah dunia internasional yang sangat besar, lebih besar dari generasi sebelumnya. Dan ada juga yang berpendapat bahwa generasi ketiga didasari dengan adanya campur tangan teknologi sebagai media pemasaran grup tertentu kepada fans internasional. Semua pendapat tersebut masuk akal.

Mungkin dari kalian ada yang berpendapat bahwa grup-grup di generasi ketiga adalah EXO, BTS, dan lain sebagainya. Begitu pula diriku. Sebelum aku mendapatkan informasi mengenai generasi K-Pop ini dari guruku, aku juga mengira bahwa generasi setelah Super Junior, dan sebagainya adalah generasi ketiga. Namun, guruku membantuku dalam mengerucutkan sebutan generasi-generasi K-Pop tersebut.

Generasi pertama merupakan generasi yang menciptakan tren fashion terhadap gaya, pakaian, rambut, dan sebagainya yang kemudian berlanjut ke Generasi kedua yang diawali dengan adanya terobosan baru berupa banyaknya repeatitive lyrics. 

Sedangkan Generasi Ketiga adalah generasi dimana para trainee bisa menampakkan wajah dan memperkenalkan diri mereka di acara televisi walaupun mereka belum debut dan bahkan belum tentu debut. Yak, contoh Generasi Ketiga yang dimaksudkan adalah Generasi Survival Show. 

Awalnya, aku sedikit agak ragu dengan konsepsi generasi ketiga ini. Pasalnya, survival show sudah berlaku untuk grup BIGBANG yang juga debut setelah melalui acara survival show. Begitupula dengan grup VIXX yang debut melalui acara survival show berjudul MyDOL.

Tetapi, generasi ketiga ini mungkin juga dilihat dari taraf mainstream dari adanya acara survival show yang menjamur saat ini. Acara-acara survival show yang dibentuk oleh pihak ketiga dengan melibatkan banyak agensi dan fans baik nasional maupun internasional, sehingga mampu meraih popularitas yang lebih tinggi dari generasi lainnya. Jadi, tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa generasi ketiga dilihat dari pengaruh teknologi yang sangat besar.

Jadi... Siapa saja grup di generasi ketiga? < aku bingung > Kalian coba jawab sendiri ya.

Yah, pokoknya, setiap generasi itu tidak mati, mereka hanya berkembang dan berevolusi menjadi sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya dengan tidak meninggalkan pengaruh dari generasi sebelumnya. Contohnya adalah BTS yang menciptakan lagu yang mengangkat social issue sehingga fans-nya rata-rata adalah anak remaja yang sedang mencari jati diri, seperti Seo Taiji & Boys kala itu.

Trend itu berputar, kok. Banyak orang jaman sekarang ingin menghidupkan kembali style khususnya fashion jaman dulu. Anyway, terima kasih sudah membaca journal ini, walaupun infonya tetap saja membingungkan, haha. ^^
0
Share
Oh gosh! This is amazing!
Please make a way to a newly born hero, Gundala!


Judul: Gundala (2019)
Sutradara: Joko Anwar
Produser: Sukhdev Singh, Wicky V. Olindo, Bismarka Kurniawan
Pemeran: Abimana Aryasatya, Tara Basro, Bront Palarae, Ario Bayu, Rio Dewanto, etc.
Rilis: 29 Agustus 2019

Menceritakan tentang Sancaka, anak laki-laki yang takut dengan hujan petir, lantaran petir-petir tersebut seolah terus mengincarnya. Suatu hari, ia harus hidup di tengah kerasnya kehidupan kota sendirian sejak ditinggal oleh kedua orang tuanya. Kehidupan yang keras memaksanya untuk bertahan hidup dengan tidak peduli dengan orang lain dan hanya mempedulikan dirinya sendiri saja. Tetapi ketika situasi kota semakin kacau, Sancaka harus membuat keputusan, tetap hidup di zona amannya, atau keluar sebagai Gundala untuk membela masyarakat yang tertindas. 

Review

Well personally, aku sangat excited ketika Joko Anwar, yang sebelumnya aku kenal melalui karyanya film Pengabdi Setan, berencana untuk membuat film mengenai pahlawan super yang berasal dari komik Indonesia. Karakter-karakter yang sudah terungkap beserta yang memerankannya, membuatku lebih antusias menanti film-film Jagat Sinema BumiLangit ini. 

Awalnya, aku sedikit underestimate mengenai konsep dan penyisipan efek CGI untuk film Gundala ini. Takutnya terlalu mengawang, dan efeknya tidak begitu memuaskan. Tetapi setelah menonton film Gundala, aku bersyukur film ini tidak/ mungkin belum begitu bergantung dengan pengaturan efek CGI. Aku menyukai hasil kinerja Joko Anwar beserta timnya yang sangat hebat dalam penetuan lokasi, tone warna dalam film, dan lain sebagainya. Mereka tidak berlebihan dalam hal efek CGI, tetapi lebih menitikberatkan pada action dan keahlian bertarung yang memang sudah membawa nama baik perfilman Indonesia sejak film The Raid tayang.

Konflik yang menjadi pokok permasalahan di film Gundala ini pun sangat relatable dengan kehidupan masyarakat khususnya Indonesia saat ini. Terlalu banyak poin mengenai konfliknya, seperti gambaran anggota dewannya, lalu masyarakatnya yang rentan akan hoax. Aku menyarankan kalian untuk menonton film ini, karena film ini bagus.

Sebelum menonton, aku juga sempat melihat review yang dibuat oleh beberapa temanku di instagram. Ada yang mengatakan bahwa pembawaan suasana di film ini seperti film-film DC, yang dark gimana gitu. Tetapi setelah aku menonton sendiri, rasanya BumiLangit Cinematic Universe ini cenderung brown alias cokelat, dibandingkan dark atau gelap atau hitam.

Alur cerita juga tidak terkesan berat. Unsur-unsur komedi masih disisipkan di dalam film. Dan aku sangat suka, karena porsinya tuh pas dan tidak berlebihan.

OH! Dan ada beberapa adegan yang membuatku sangat terkesan. Salah satunya adalah kehadiran pahlawan perempuan, Sri Asih, yang diperankan oleh Pevita tuh keren banget. Pevita-nya cantik banget, dan momen kehadirannya di film tuh keren juga.

Untuk film pembuka seri pahlawan super Indonesia ini, menurutku film ini sangat rekomen. Pasalnya, selain menyuguhkan aktor, konflik, sinematografi, action, musik, dan semangat berkarya yang baru, film ini juga mampu membuatku penasaran dengan film kedua seri ini, yakni Sri Asih.

Apakah aku bangga? Tentu aku sangat bangga dengan hasil karya Indonesian yang memiliki kualitas dan nilai baik di mata nasional maupun internasional. Membuatku jadi termotivasi untuk berkarya. Terlebih aku dan saudara laki-lakiku sering mengobrol mengenai film, dan adikku mengatakan bahwa di Asia Tenggara, yang punya komik pahlawan super hanya kita, Indonesia. Correct me if i'm wrong, ya. Aku sangat senang bahwa Indonesia mampu membuat Cinematic Universe sendiri di kancah Asia.

Sejujurnya, aku nggak pernah mengikuti komik pahlawan super, bahkan Marvel dan DC pun tidak. Jadi pengetahuanku mengenai pahlawan super hanya terbatas pada apa yang sudah digambarkan melalui film layar lebar tersebut. Selain itu, aku juga belum mampu mereview sesuatu dengan sungguh tersusun rapih dan detail, sehingga kalimatnya cenderung singkat dibandingkan review dari blogger atau sumber lain.

OVERALL REVIEW

✩✩✩✩✩
5 bintang.

Apakah menurut kalian, aku terlalu mudah dalam memberikan bintang?
Pasalnya film ini adalah film pembuka yang sangat bagus, meningkatkan ekspektasi penonton terhadap film-film selanjutnya yang diharapkan lebih baik dari film pertama.
Jadi, aku sangat merekomendasikan film ini untuk kalian para moviegoers.
0
Share
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

About Me

Welcome to my little corner! I’m Lia, someone who finds joy in stories, whether through novels, dramas, movies, or my own writings. With a Green Tea Latte in hand, I explore different narratives and share my thoughts here. Expect reviews, reflections, and a mix of personal musings. Most of my posts are in Bahasa Indonesia, but occasionally you’ll find entries in English or even a bit of Korean! Stay tuned, and let's dive into stories together!

Old Reviews

  • ▼  2025 (2)
    • ▼  Agustus 2025 (1)
      • The Best Is Yet To Come
    • ►  Mei 2025 (1)
  • ►  2023 (3)
    • ►  September 2023 (2)
    • ►  Agustus 2023 (1)
  • ►  2022 (8)
    • ►  November 2022 (1)
    • ►  September 2022 (4)
    • ►  Juli 2022 (1)
    • ►  Mei 2022 (1)
    • ►  April 2022 (1)
  • ►  2021 (23)
    • ►  November 2021 (7)
    • ►  Oktober 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (5)
    • ►  April 2021 (1)
    • ►  Maret 2021 (9)
  • ►  2020 (23)
    • ►  November 2020 (4)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (3)
    • ►  Juli 2020 (3)
    • ►  Juni 2020 (6)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Maret 2020 (5)
  • ►  2019 (43)
    • ►  Desember 2019 (3)
    • ►  November 2019 (4)
    • ►  Oktober 2019 (5)
    • ►  September 2019 (5)
    • ►  Agustus 2019 (6)
    • ►  Juni 2019 (4)
    • ►  Mei 2019 (3)
    • ►  April 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (6)
    • ►  Februari 2019 (3)
    • ►  Januari 2019 (3)
  • ►  2018 (8)
    • ►  November 2018 (2)
    • ►  Agustus 2018 (2)
    • ►  Juli 2018 (4)

Cari Blog Ini

Youtube

Translate Here!

Iklan Sejenak

LINK

  • KOREA.NET INDONESIA
  • KOREA.NET ENGLISH
Copyright © 2015 GREENSHE REVIEWS

Created By ThemeXpose